Antara Advokat dan Klien, Jangankan Indentik, Mirip Juga Tidak !


Tulisan ini sengaja dibuat dalam rangka menyambut ulang tahun ke 28, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (K.U.H.A.P). Ia lahir tanggal 31 Desember 1981. (penulis)

Status advokat sama seperti polisi, jaksa dan hakim. Yakni sama-sama sebagai penegak hukum. Secara “de jure” demikian ditetapkan semenjak diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (pasal 5 ayat (1)).

Menurut doktrin, profesi advokat adalah pekerjaan yang “nobel “ (mulia). Profesi yang terhormat lagi bermartabat. Ini membanggakan sekaligus mengharukan, bagaimanapun kesederajatan status sebagai salah satu pilar penegak hukum secara sah menurut hukum adalah ekuivalen seperti saudara-saudara penegak hukum lainnya.

Masyarakat awam umumnya mengenal advokat sebagai pengacara saja. Yang secara “sarkasme” di beri kepanjangan ; “pengangguran banyak acara”. Penulis sebagai bagian korps para advokat dan juga teman-teman advokat lainnya pada umumnya beranggapan rasa-rasanya tidak perlu tersinggung, apalagi harus melayangkan somasi segala atau mengadukan dengan delik perbuatan tak menyenangkan/pencemaran nama baik misalnya. Disamping itu, selain hal yang tak penting dan sama sekali tidak perlu!

Sebutan pengacara adalah bagian masa lalu. Melalui pasal 32 UU.No. 18 Tahun 2003, dinyatakan sebagai advokat saja. Sedangkan sebutan lain menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (K.U.H.A.P.) yang diberlakukan efektif tanggal 31 Desember 1981 itu, menyatakan bahwa dalam hal memberikan bantuan hukum (pasal 69 Bab VII. K.U.H.A.P) ketika sedang menjalankan fungsinya beracara dinamakan dengan istilah penasehat hukum. Jadi ada dua istilah yakni pertama ; advokat dan kedua, bila sedang menangani suatu perkara pidana dinamakan; Penasihat Hukum. Jadi sesungguhnya kedua-duanya adalah profesi yang sama.

Pada dasarnya tugas pokok advokat/penasihat hukum adalah memberikan bantuan hukum baik secara komersial maupun prodeo (cuma-cuma), memberikan “legal opinion” terhadap sesuatu masalah hukum, memberikan solusi hukum, dan di muka pengadilan bertindak membela kepentingan klien.

Prinsipnya seorang advokat berupaya menemukan kebenaran-kebenaran hukum dan menghadirkan fakta-fakta yuridis. Advokat dan pencari keadilan hadir di ranah hukum hampir disepanjang zaman, turut mewarnai dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disisi lain sebagai agen pembaharuan, advokat berfungsi juga sebagai alat kontrol terhadap “rule” terhadap penguasa.

Advokat menjalankan fungsi sosial kontrol (kebijakan-kebijakan penguasa) yang tidak berpihak kepada nilai-nilai kemasyarakatan yang menjunjung tinggi keadilan. Seringkali Advokat mewakili suara kaum minoritas masyarakat yang tertindas, mereka yang buta hukum dan miskin, orang-orang yang “terzholimi” hukum. Termasuk mereka yang fakir atas ketidak-adilan sudah seharusnya menjadi perhatian advokat.

Namun tidak sedikit dari advokat yang kemudian menjadi bagian “mesin kapitalis”, yang seringkali diduga melakukan penyimpangan norma hukum dan melanggar norma sosial, yang disebut secara ekstrim dengan julukan “black lawyer”. Tak sedikit pula ada advokat yang idealis berwatak dermawan, berbudi luhur, dan gemar membantu masyarakat yang tertindas (prophet lawyer). Advokat yang berwatak “prophet” atas dasar keyakinannya, kadang-kadang berseberangan dengan anggapan kebanyakan orang, siap dimusuhi/dibenci, bahkan bisa-bisa nyawanya dipertaruhkan. Hanya waktu saja yang kelak membuktikan kebenaran dari keyakinan advokat “prophet” itu.
Nyata sekali disekitar kita dapat ditemukan berbagai ragam, karakter dan kepribadian dari para advokat.

Menyoal Pasal 70 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 71 ayat (2) K.U.H.A.P

Ruh dari K.U.H.A.P adalah berasaskan “presumption of innocent” (praduga tak bersalah) dan berprinsip “equality before the law” (semua orang berkedudukan sama di muka hukum) seperti yang diamanatkan dalam konstitusi kita , hal mana tersebut kemudian menjadi sangat inkonsistensi dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 70 ayat (2),(3),dan (4) serta Pasal 71 ayat (2) K.U.H.A.P;.

Pada pokoknya pasal-pasal ini menyatakan kalau advokat atau penasehat hukum (mungkin saja) menyalahgunakan tugasnya ketika berhubungan dengan klien, maka atas perbuatan ini penasehat hukum dapat diperingati namun jika masih membandel penasehat hukum itu dapat dilarang berhubungan dengan kliennya dalam bentuk apapun. Adapun Pasal 71 ayat (2) K.U.H.A.P menyatakan jika pembicaraan antara penasehat hukum dengan kliennya yang disangka melakukan perbuatan yang membahayakan negara, maka diawasi oleh petugas dengan prinsip “sight but no hearing” ; hanya diawasi saja tanpa didengar pembicaraannya. Ketentuan-ketentuan tersebut berakhir, ketika perkara sudah dilimpahkan masuk di meja hakim pada sidang pengadilan.

“Abuse de droit” atau penyalahgunaan hak pada pasal 70 ayat (2) , (3), dan (4) K.U.H.A.P, jelas-jelas dialamatkan kepada species penasehat hukum, padahal tidak seharusnya pembuat undang-undang mencantumkan uraian yang berisi ketentuan-ketentuan yang tendensius, seolah-olah hanya penasehat hukum yang (kemungkinan) bisa melakukan perbuatan seperti itu.

Pembuat undang-undang K.U.H.A.P yang 28 tahun silam, berpikir reaktif dan cenderung represif, seolah-olah tidak memberikan ruang kesederajatan yang sama antara penyidik, petugas rutan/pemasyarakatan, penuntut umum dan penasehat hukum pada suatu kasus pidana. Terkesan antara penasehat dan klien patut diduga bisa-bisa akan “bermain mata” atau misalnya ; barangkali boleh jadi dikhawatirkan si-penasehat hukum mengajari klien agar terlepas dari segala tuntutan hukum.

Kalau dicermati dengan seksama ketentuan-ketentuan Pasal 70 ayat (2), (3) dan (4) dan Pasal 71 ayat (2) K.U.H.A.P, hanya diperuntukkan bagi penasehat hukum saja, padahal K.U.H.A.P sebagai landasan hukum pada proses pidana di semua tingkatan seharusnya memiliki bobot yang berimbang sesuai prinsip persamaan di muka hukum, dan berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Sebelum seseorang itu di dinyatakan oleh hakim ditetapkan bersalah atau tidak, maka seseorang itu dianggap tidak bersalah. Seorang Advokat tidak berhak mem-blame-ing (menghukum) seseorang bersalah atau tidak bersalah. Hal itu menjadi kewenangan hakim memutuskannya, bukanlah wewenang advokat.

Dalam penjelasan resminya, kedua pasal ini dinyatakan cukup jelas. Padahal belum terang benderang arahannya, bahkan menimbulkan multi tafsir. Syukur-syukur tafsirannya benar dan tidak keliru. Suatu tafsiran akan baik jika berdasarkan kadar keilmuan hukum yang cukup, dilakukan oleh yang berkompeten. Persoalannya adalah bagaimana jika penafsiran ketentuan itu dilandasi sikap saling curiga antara sesama penegak hukum itu sendiri ?

Alasan dibalik penerapan Pasal 70 ayat (2), (3),(4) dan Pasal 71 ayat (2) K.U.H.A.P dapat ditemukan pada Bab III angka 2, mengenai Bantuan Hukum alinea 3 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan K.U.H.A.P. , menyatakan jika pembatasan-pembatasan hubungan anatara penasehat hukum dengan klien pada suatu kasus pidana didasari alasan yang hendak dicapai hukum pidana yaitu mengadakan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara kepentingan tersangka/terdakwa dan kepentingan pemeriksaan. Meski hubungan antara tersangka /terdakwa dengan penasehat hukum nya dapat diberikan pembatasan-pembatasan untuk kepentingan pemeriksaan, namun apabila telah ada pemberitahuan resmi oleh penuntut umum kepada terdakwa bahwa perkara telah dilimpahkan kepada pengadilan maka hubungan antara tersangka/terdakwa dengan penasehat hukum tidak lagi dikenakan pembatasan-pembatasan.

Hal inilah yang menyebabkan hambatan-hambatan teknis pada penasehat hukum dalam rangka memperoleh bahan-bahan dasar bagi kepentingan si klien di persidangan kelak. Jika ternyata pembatasan-pembatasan seperti ini berseberangan dengan sebagaimana yang dikehendaki pasal 70 ayat (1) K.U.H.A.P yo. Pasal 15, pasal 16 , pasal 17, dan Pasal 19 ayat (1) serta ayat (2), UU. No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

K.U.H.A.P terdiri dari 23 Bab 286 pasal itu, usut punya usut ternyata tidak ditemukan satu pasal pun yang isi atau kontennya membatasi gerak penyidik, petugas rutan/pemasyarakatan dan penuntut umum ketika berhubungan dengan si-tersangka/saksi pada tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa sebelum perkara masuk ke gedung pengadilan malahan banyak ketentuan yang bobotnya justru memberikan ruang gerak dan kewenangan yang seluas-luasnya. Padahal boleh jadi ”abuse de droit”, mungkin juga dilakukan oleh oknum-oknum penyidik, petugas rutan/pemasyarakatan dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan si -klien. Kalau demikian peristiwanya, siapa pula pihak yang berwenang daripada yang paling berwenang sekalipun mengawasi tindak tanduk petugas agar tidak terjadi penyimpangan seperti itu, sementara K.U.H.A.P, tidak mengaturnya ?

Selayaknya masyarakat dan pihak yang wenang maklum seyogyanya kalau Advokat/Penasehat Hukum ketika menjalankan pekerjaannya itu tidak dapat diindentikkan dengan kliennya (Pasal 18 ayat (2) UURI No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).

Simpul kata, jangankan indentik, mirip juga tidak ! (Irg)

Bandung, 19 Desember 2009

*) Penulis : Isa R Ginanjar, Advokat,Ka.Div. Humas Advokasi LBH KAI Jabar.

Komentar

Popular Post